Senin, 01 Agustus 2011

kerangka karangan

tugas softskill bahasa indonesia
TO: 1 recipient
Show Details
Message body





1. Data Publikasi

a. Judul : FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR RUPIAH

b. Penulis : Tri Wibowo & Hidayat Amir

c. No halaman : 1-27

d. Tema : Karya Ilmiah





KATA PENGANTAR





Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR RUPIAH”.

Penulisan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia di Universitas Gunadarma Fakultas Manajemen.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.



Depok, April 2011



Penulis











Ringkasan Karya Ilmiah

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR RUPIAH





BAB I

PENDAHULUAN

I. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dengan perkembangan ekonomi internasional yang semakin pesat, hubungan ekonomi antarnegara akan menjadi saling terkait dan mengakibatkan peningkatan arus perdagangan barang maupun uang serta modal antarnegara. Terjadinya perubahan indikator makro di negara lain, secara tidak langsung akan berdampak pada indikator suatu negara.

Dengan diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang penuh/bebas (freely floating system) yang dimulai sejak Agustus 1997, posisi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (khususnya US$) ditentukan oleh mekanisme pasar. Sejak masa itu naik turunnya nilai tukar (fluktuasi) ditentukan oleh kekuatan pasar.

Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap US$ pasca diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang terus mengalami kemerosotan. Pada bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ sebesar Rp3.035/US$, terus mengalami tekanan sehingga pada Desember 1997 nilai tukar rupiah terhadap US$ tercatat sebesar Rp4.650/US$. Memasuki tahun 1998, nilai tukar rupiah melemah menjadi sebesar Rp10.375/US$, bahkan pada bulan Juni 1998 nilai tukar rupiah sempat menembus level Rp14.900/US$ yang merupakan nilai tukar terlemah sepanjang sejarah nilai tukar rupiah terhadap US$. Nilai tukar rupiah terhadap US$ tahun 1999 melakukan recovery menjadi sebesar Rp7.810/US$, tahun 2000 kembali melemah sebesar Rp8.530/US$, tahun 2001 melemah lagi menjadi Rp10.265/US$, tahun 2002 kembali menguat menjadi Rp9.260/US$, tahun 2003 menguat menjadi Rp8.570/US$ dan pada tahun 2004 sebesar Rp8.985/US$.

Pada tahun 2005, melambungnya harga minyak dunia yang sempat menembus level US$70/barrel memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap meningkatnya permintaan valuta asing sebagai konsekuensi negara pengimpor minyak. Kondisi ini menyebabkan nilai tukar rupiah melemah terhadap US$ dan berada kisaran Rp9.200 sampai Rp10.200 per US$.

Nilai tukar rupiah merupakan satu indikator ekonomi makro yang terkait dengan besaran APBN. Asumsi nilai tukar rupiah berhubungan dengan banyaknya transaksi dalam APBN yang terkait dengan mata uang asing, seperti penerimaan pinjaman dan pembayaran utang luar negeri, penerimaan minyak dan pemberian subsidi BBM. Dengan demikian, variabel asumsi dasar





ekonomi makro tersebut sangat menentukan besarnya penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk dana perimbangan, serta besarnya pembiayaan anggaran.

Pada tahun 2004, asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN ditetapkan sebesar Rp8.600 per US$. Dalam realisasinya, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ selama tahun 2004 adalah sebesar Rp8.930, atau mengalami penyimpangan sebesar 3,5 persen (under-estimated). Demikian pula pada tahun 2005, dalam APBN-P asumsi nilai tukar rupiah ditetapkan sebesar Rp9.300 per US$, rata-rata nilai tukar rupiah terhadap US$ sampai dengan Oktober 2005 sebesar Rp9.590 per US$, atau menyimpang sebesar 3 persen (Tabel 1).

Penetapan asumsi nilai tukar rupiah dalam APBN yang ternyata lebih rendah sekitar 3 persen dari realisasi, adalah merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini mengingat asumsi nilai tukar yang ditetapkan dalam APBN dapat pula berfungsi sebagai “anchor” nilai tukar sehingga dapat meredam ekspektasi masyarakat yang berlebihan. Tetapi disisi lain, apabila asumsi tersebut jauh dari realita yang diekspektasikan pasar, maka pasar akan menolak, sehingga asumsi tersebut tidak dipercaya lagi. Dari kondisi ini, diperlukan kehati-hatian dalam menentukan asumsi nilai tukar sehingga dari kedua sisi, baik pemerintah maupun pelaku pasar dapat sama-sama terwakili.

Mengingat pentingnya nilai tukar rupiah sebagai indikator ekonomi makro dalam APBN, model prakiraan nilai tukar yang tepat sangat diperlukan untuk memprakirakan nilai tukar realistis terutama sebagai masukan dalam penyusunan RAPBN.



1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang terjadi dengan keadaan nilai tukar rupiah ?

2. Apakah yang menyebabkan rendahnya nilai tukar rupiah ?



1.3 Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui dan memberikan gambaran keadaan nilai tukar rupiah di Indonesia

2. Untuk mengidentifikasi variabel yang terkait dengan nilai tukar rupiah dan menyusun model nilai tukar rupiah yang terbaik.

















BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Nilai Tukar (Kurs)



2.1.1. Pengertian Nilai Tukar Rupiah

Menurut Fabozzi dan Franco (1996:724) an exchange rate is defined as the amount of one currency that can be exchange per unit of another currency, or the price of one currency in items of another currency.



Sedangkan menurut Adiningsih, dkk (1998:155), nilai tukar rupiah adalah harga rupiah terhadap mata uang negara lain. Jadi, nilai tukar rupiah merupakan nilai dari satu mata rupiah yang ditranslasikan ke dalam mata uang negara lain. Misalnya nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS, nilai tukar rupiah terhadap Yen, dan lain sebagainya.



Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas dipasar saham maupun pasar uang karena investor cenderung akan berhati-hati untuk melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan Kurniasari, 2003).



2.1.2. Penentuan Nilai Tukar

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar, yaitu (Madura, 1993):

1. Faktor Fundamental

Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator ekonomi

seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relatif pendapatan antar-negara,

ekspektasi pasar dan intervensi Bank Sentral.



2. Faktor Teknis

Faktor teknis berkaitan dengan kondisi penawaran dan permintaan

devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada kelebihan permintaan, sementara

penawaran tetap, maka harga valas akan naik dan sebaliknya.



3. Sentimen Pasar

Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor atau berita-berita

politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga valas naik atau

turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau berita-berita

sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal.



2.1.3. Sistem Kurs Mata Uang

Menurut Kuncoro (2001: 26-31), ada beberapa sistem kurs mata uang yang

berlaku di perekonomian internasional, yaitu:

1. Sistem kurs mengambang (floating exchange rate), sistem kurs ini ditentukan

oleh mekanisme pasar dengan atau tanpa upaya stabilisasi oleh otoritas moneter.

Di dalam sistem kurs mengambang dikenal dua macam kurs

mengambang, yaitu :

a. Mengambang bebas (murni) dimana kurs mata uang ditentukan

sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa ada campur tangan pemerintah.

Sistem ini sering disebut clean floating exchange rate, di dalam sistem ini

cadangan devisa tidak diperlukan karena otoritas moneter tidak berupaya

untuk menetapkan atau memanipulasi kurs.

b. Mengambang terkendali (managed or dirty floating exchange rate) dimana

otoritas moneter berperan aktif dalam menstabilkan kurs pada tingkat

tertentu. Oleh karena itu, cadangan devisa biasanya dibutuhkan karena

otoritas moneter perlu membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi

pergerakan kurs.



2. Sistem kurs tertambat (peged exchange rate). Dalam sistem ini, suatu negara

mengkaitkan nilai mata uangnya dengan suatu mata uang negara lain atau

sekelompok mata uang, yang biasanya merupakan mata uang negara partner

dagang yang utama “Menambatkan“ ke suatu mata uang berarti nilai mata

uang tersebut bergerak mengikuti mata uang yang menjadi tambatannya. Jadi

sebenarnya mata uang yang ditambatkan tidak mengalami fluktuasi tetapi

hanya berfluktuasi terhadap mata uang lain mengikuti mata uang yang

menjadi tambatannya.



3. Sistem kurs tertambat merangkak (crawling pegs). Dalam sistem ini, suatu

negara melakukan sedikit perubahan dalam nilai mata uangnya secara periodik

dengan tujuan untuk bergerak menuju nilai tertentu pada rentang waktu

tertentu. Keuntungan utama sistem ini adalah suatu negara dapat mengatur

penyesuaian kursnya dalam periode yang lebih lama dibanding sistem kurs

tertambat. Oleh karena itu, sistem ini dapat menghindari kejutan-kejutan

terhadap perekonomian akibat revaluasi atau devaluasi yang tiba-tiba dan

tajam.



4. Sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Banyak negara terutama

negara sedang berkembang menetapkan nilai mata uangnya berdasarkan

sekeranjang mata uang. Keuntungan dari sistem ini adalah menawarkan

stabilitas mata uang suatu negara karena pergerakan mata uang disebar dalam

sekeranjang mata uang. Seleksi mata uang yang dimasukkan dalam

“keranjang“ umumnya ditentukan oleh peranannya dalam membiayai

perdagangan negara tertentu. Mata uang yang berlainan diberi bobot yang

berbeda tergantung peran relatifnya terhadap negara tersebut. Jadi sekeranjang

mata uang bagi suatu negara dapat terdiri dari beberapa mata uang yang

berbeda dengan bobot yang berbeda.



5. Sistem kurs tetap (fixed exchange rate). Dalam sistem ini, suatu negara

mengumumkan suatu kurs tertentu atas nama uangnya dan menjaga kurs ini

dengan menyetujui untuk menjual atau membeli valas dalam jumlah tidak

terbatas pada kurs tersebut. Kurs biasanya tetap atau diperbolehkan

berfluktuasi dalam batas yang sangat sempit.



2.1.4. Sejarah Perkembangan Kebijakan Nilai Tukar di Indonesia

Sejak tahun 1970, negara Indonesia telah menerapkan tiga sistem nilai tukar, yaitu:



1. Sistem kurs tetap (1970- 1978)

Sesuai dengan Undang-Undang No.32 Tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai

tukar tetap kurs resmi Rp. 250/US$, sementara kurs uang lainnya dihitung berdasarkan

nilai tukar rupiah terhadap US$. Untuk menjaga kestabilan nilai tukar pada tingkat yang ditetapkan, Bank Indonesia melakukan intervensi aktif di pasar valuta asing.



2. Sistem mengambang terkendali (1978-Juli 1997)

Pada masa ini, nilai tukar rupiah didasarkan pada sistem sekeranjang mata uang (basket of currencies). Kebijakan ini diterapkan bersama dengan dilakukannya devaluasi rupiah pada tahun 1978. Dengan sistem ini, pemerintah menetapkan kurs indikasi (pembatas) dan membiarkan kurs

bergerak di pasar dengan spread tertentu. Pemerintah hanya melakukan intervensi bila kurs bergejolak melebihi batas atas atau bawah dari spread.



3. Sistem kurs mengambang (14 Agustus 1997-sekarang)

Sejak pertengahan Juli 1997, nilai tukar rupiah terhadap US$ semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka mengamankan cadangan devisa yang terus berkurang maka pemerintah memutuskan untuk menghapus rentang intervensi (sistem nilai tukar mengambang terkendali) dan mulai menganut sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating exchange rate) pada tanggal 14 Agustus 1997. Penghapusan rentang intervensi ini juga

dimaksudkan untuk mengurangi kegiatan intervensi pemerintah terhadap rupiah dan memantapkan pelaksanaan kebijakan moneter dalam negeri.





2.2 Teori Permintaan dan Penawaran



Di pasar terdapat dua kekuatan utama yang saling berinteraksi, yaitu permintaan dan

penawaran, sehingga terbentuk keseimbangan yang dicerminkan pada level harga dan kuantitas

dan Kinerja Perekonomian Indonesia

dimana kurva permintaan dan penawaran bertemu. Hukum penawaran menghubungkan

berbagai titik kombinasi antara jumlah barang (atau jasa) dan tingkat harga yang ditawarkan.



Semakin tinggi harga, akan semakin tinggi kuantitas yang ditawarkan - atau sebaliknya jika

harga turun - dengan asumsi ceteris paribus, sehingga terdapat hubungan yang positif antara

harga dan penawaran.

Dalam konteks pasar valas, komoditi yang diperdagangkan adalah valuta asing dan

harganya adalah nilai tukar. Untuk pasar US dollar di Indonesia, harga dari US dollar adalah

nilai tukar rupiah per US dollar, misalnya dengan kuotasi Rp9.000/USD; apabila kuotasinya

meningkat berarti harga USD1 yang dibeli dengan mata uang rupiah menjadi lebih mahal.



Kondisi ini disebut rupiah terdepresiasi (nilai rupiah menurun) atau US dollar terapresiasi.

Sebaliknya, apabila kuotasinya menurun maka terjadi apresiasi rupiah (depresiasi US dollar).

Sebagaimana di pasar lainnya, excess demand terhadap US dollar mengakibatkan harganya

naik (rupiah terdepresiasi), dan sebaliknya, excess supply menjadikan harga US dollar jatuh

(rupiah terapresiasi). Model nilai tukar dengan pendekatan microstructure menggunakan prinsip

yang sama, yaitu mengukur pengaruh 'excess demand' - menggunakan data order flow -

terhadap pergerakan nilai tukar.



Order flow adalah perintah atau permintaan untuk melakukan transaksi valas dari satu

pihak kepada dealer valas yang dalam hal ini berfungsi sebagai market maker atau pasar. Oleh

karena berfungsi sebagai market maker, dealer dapat menerima order jual atau pun order beli.

Dalam konsep order flows, order jual dan beli valas dibedakan dengan memberikan sign positif

(+) untuk order beli valas (dealer menjual valas kepada pihak pemberi order) dan sign negatif

(-) untuk order jual valas. Akumulasi order flow tersebut secara empirik dibuktikan oleh Evan

dan Lyons (2005) mempengaruhi nilai tukar.





Penjelasan utama terhadap explanatory power tersebut adalah order mengandung

berbagai informasi yang berpotensial mempengaruhi nilai tukar. Sebelum memberikan order,

pemberi order telah memperoleh informasi, termasuk informasi fundamental makroekonomi

(Rime, 2007), dari berbagai sumber, dan mengolah (menganalisis) informasi tersebut yang

pada akhirnya menciptakan ekspektasi nilai tukar ke depan. Berdasarkan ekspektasi tersebut,

pemberi order menyampaikan order transaksi valas dengan tujuan memperoleh keuntungan.

Oleh karena order datang dari berbagai kalangan yang memiliki informasi yang sangat bervariasi,

akumulasi order flow merupakan sintesa dari berbagai informasi, sehingga dapat menjelaskan

arah pergerakan nilai tukar.



Pemberian tanda untuk membedakan arah transaksi valas tersebut menjadikan order flow sering disebut sebagai varian 'excess demand'. Berdasarkan hal ini diketahui hubungan

antara order flow dan nilai tukar, yaitu semakin tinggi order flow (excess demand) akan semakin

memberikan tekanan depresiatif terhadap nilai tukar. Bentuk umum persamaan order flow

adalah sebagai berikut:



ΔPt = f(X, I, Z) + ε

t

dimana ΔPt adalah perubahan nilai tukar, X adalah order flow, I adalah cadangan valas yang

dimiliki market maker, dan Z adalah indikator mikro lainnya.

Kajian dengan pendekatan permintaan dan penawaran juga pernah dilakukan di Bank

Indonesia oleh Husman (2005). Penelitian ini menggunakan model komposit (hybrid) yang

memadukan permintaan dan penawaran valas dengan variabel fundamental ekonomi untuk

menjelaskan pergerakan nilai tukar rupiah. Persamaan model nilai tukar komposit dimaksud

adalah sebagai berikut:



st = α0 + (pt - p*t) + α1(it - i*t) + α2sdvt + α3tott + α4poil + ut



dimana st adalah nilai tukar rupiah, pt - p*t adalah price differential, it - i*t adalah interest

rate differential, sdvt adalah rasio penawaran dan permintaan valas luar negeri, tott adalah term

of trade dan poil adalah harga minyak dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel

permintaan dan penawaran berpengaruh signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.





2.3 Nilai Tukar, Inflasi dan Jalur Transmisi Kebijakan Moneter

Pergerakan nilai tukar sebagaimana disinggung pada latar belakang berpengaruh luas

terhadap perekonomian, termasuk harga. Nilai tukar dalam mempengaruhi harga dapat melalui

berbagai jalur transmisi:

• Direct passthrough

• Indirect passthrough

• Inflation expectation



Dalam direct passthrough, perubahan nilai tukar mempengaruhi harga impor barang

(dalam mata uang domestik) yang tercermin pada indeks harga impor. Permasalahan utama

yang terkait isu passthrough effect adalah pengaruh depresiasi nilai tukar yang secara langsung

meningkatkan beban biaya impor yang harus ditanggung importir sehingga menyebabkan

kenaikan harga impor. Selanjutnya, importir atau pedagang eceran yang menjual barang impor

ke konsumen memiliki alternatif untuk menanggung sendiri beban kenaikan biaya tersebut

atau membebankannya ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga konsumen. Dalam hal

importir ingin mempertahankan keuntungannya, maka beban depresiasi rupiah akan dibebankan

kepada konsumen sehingga harga konsumen meningkat. Namun, seandainya importir bersedia

menanggungnya - untuk alasan mempertahankan pangsa pasar - maka dampak depresiasi

rupiah akan minimal pada harga konsumen.



Dampak perubahan nilai tukar melalui indirect passthrough adalah melalui shifting orientasi

pemasaran dari pasar domestik menjadi pasar internasional. Depresiasi menjadikan harga barang

ekspor menjadi lebih murah sehingga mendorong ekspor. Bagi produsen di dalam negeri, hal

ini merupakan potensi keuntungan yang lebih besar sehingga akan lebih menguntungkan jika

barang yang diproduksinya dijual ke luar negeri dibandingkan dijual di dalam negeri. Akibat

perubahan investasi pasar tersebut, harga barang tersebut di dalam negeri menjadi lebih mahal

(inflasi). Sementara itu, jalur ekspektasi menjelaskan bahwa depresiasi nilai tukar akan

menyebabkan harga di masa yang akan datang cenderung meningkat. Ekspektasi ini

direalisasikan oleh produsen dan retailer untuk melakukan tindakan antisipatif penyesuaian

harga (menaikkan harga). Akibatnya, inflasi cenderung meningkat.





2.4 Determinan Kinerja Ekspor dan Impor

Ekspor dan impor merupakan implementasi dari sistem perekonomian terbuka dimana

suatu negara melakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Dinamika ekspor dan impor

akan mempengaruhi neraca pembayaran dan juga output perekonomian secara keseluruhan.

Nilai tukar terkait erat baik dengan ekspor maupun impor dimana pergerakan nilai tukar

mempengaruhi daya saing (competitiveness) produk ekspor (dalam hal harga relatif).

Depresiasinilai tukar suatu negara terhadap mata uang negara lainnya menjadikan daya saing produk ekspor negara tersebut meningkat, sehingga ekspor meningkat. Di saat yang sama, impor

menjadi lebih mahal bagi negara tersebut, sehingga impor cenderung menurun. Kombinasi

peningkatan ekspor dan penurunan impor memperbaiki kondisi neraca pembayaran, dan lebih

jauh lagi akan meningkatkan pendapatan. Dampak sebaliknya terjadi jika nilai tukar terapresiasi,

yaitu kinerja neraca pembayaran dan pendapatan nasional memburuk.

Selain nilai tukar, ekspor dan impor juga dipengaruhi oleh terms of trade, sisi pasokan

barang ekspor dan sisi permintaan (ekspor dan impor). Terms of trade yang membaik akan

berdampak positif terhadap ekspor, namun berdampak negatif terhadap impor. Bagi negara

pengekspor, ketersediaan pasokan barang dapat tercermin pada produksinya. Di sisi permintaan

permintaan barang dicerminkan oleh pendapatan.

Dengan demikian, persamaan ekspor dan impor dapat diekspresikan sebagai berikut:

X = f(e, TOT, IP*)

M = f(e, TOT, Y)

dimana X adalah ekspor, M adalah impor, e adalah nilai tukar, TOT adalah terms of trade,

IP* adalah industrial production index, negara mitra dagang yang merepresentasikan

pendapatan.

Selanjutnya, ekspor dan impor mempengaruhi pendapatan nasional sebagaimana

ditunjukkan oleh persamaan identitas domestic output dalam sistem perekonomian terbuka:

Y = C + I + G + (X - M)

dimana Y adalah PDB, C adalah konsumsi, I adalah investasi, G adalah pengeluaran

pemerintah, dan X - M adalah net ekspor (Ekspor - Impor).













BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Variabel moneter yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika adalah selisih pendapatan riil Indonesia dan Amerika, selisih inflasi Indonesia dan Amerika, selisih tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika, serta nilai tukar rupiah terhadap US$ satu bulan sebelumnya (lag -1). Selisih jumlah uang beredar (M1) Indonesia dan Amerika belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap nilai tukar rupiah.

2. Elastisitas masing-masing variabel bebas terhadap nilai tukar adalah: (i) selisih logaritma PDB Indonesia dan Amerika sebesar – 0,814, (ii) selisih logaritma WPI Indonesia dan Amerika sebesar 0,436, (iii) selisih logaritma suku bunga Indonesia dan Amerika sebesar – 0,009 dan (iv) nilai tukar satu bulan sebelumnya sebesar 0,765.

3. Pengaruh nilai tukar pada harga pada first round effect - yaitu dari nilai tukar ke harga

impor - relatif kuat dan signifikan, namun pada second round effect-nya ke harga konsumen

lebih terbatas. Pengaruh nilai tukar ke ekspor dan impor hanya signifikan di jangka pendek

dengan pengaruh yang lebih signifikan ke impor. Ekspor dan impor selanjutnya berpengaruh

terhadap output perekonomian. Selain itu dampak asimetrik nilai tukar juga terjadi di dalam

perekonomian. Dampak depresiasi nilai tukar lebih besar dibandingkan dampak apresiasi

terutama dampak langsung terhadap ekspor dan impor. Perbedaan ini menimbulkan

akumulasi dampak terhadap perekonomian yang berbeda.



3.2 Saran

Adapun saran yang dikemukakan disini mungkin dapat bermanfaat untuk masyarakat, yaitu:

Dengan elastisitas perbedaan tingkat suku bunga Indonesia dan Amerika terhadap kurs sebesar -0,9 persen, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter perlu hati-hati dalam meningkatkan BI rate sebagai upaya meredam anjloknya nilai tukar rupiah terhadap US$. Kenaikan BI rate satu persen, hanya mampu menguatkan nilai tukar rupiah (apresiasi) sekitar Rp100. Kenaikan suku bunga sebaiknya lebih difokuskan untuk meredam inflasi.



Lampiran:
http://mashidayat.files.wordpress.com/2007/12/02-faktor-yang-mempengaruhi-nilai-tukar-kek-des-2005.pdf

http://dhasanblog.blogspot.com/2011/04/ringkasan-karya-ilmiah.htm



DAFTAR PUSTAKA





2001, Laporan Akhir Studi Pengembangan Indikator Ekonomi Makro

Direktorat Pengembangan Perencanaan Makro, Bappenas

Abimanyu, Yoopi, Ph.D., 2004, Memahami Kurs Valuta Asing, Lembaga

Penerbit FEUI, Jakarta.

Bails, Dale G. & Larry C. Peppers, 1993, Business Fluctuations, Forecasting

Techniques and Apllications, Prentice-Hall, New Jersey

Boediono, 1992, Ekonomi Makro, BPFE UGM Yogyakarta

Dummairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta

Guritno M. & Algifari, 1992, Ekonomi Makro, Penerbit STIE YKPN,

Yogyakarta

Hady, Hamdy, Dr., 2001, Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan

Keuangan Internasional, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.

Ismawan, Indra, 1998, Dimensi Krisis Ekonomi Indonesia, Elek Media

Komputindo

Krugman, Paul R. & Maurice Obstfeld, 1992, Ekonomi Internasional: Teori dan

Kebijakan, Rajawali Pers Jakarta.

Lindert, Peter H. & Charles P, 1995, Ekonomi Internasional, Penerbit Erlangga

Meese & Rogoff (1983), Empirical Exchange Rate Models of the Seventies

Journal of International Economics 14 (1983) 3-24, North Holland

Publishing Company

Romer, David, 1996, Advanced Macro Economics, Mc. Graw-Hill International,

Singapore

Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Bisnis, Alfa Beta, Bandung



NAMA: Dika Permana

NPM: 10208379/3EA06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar